Singkawang. Lokasi eks Gedung Wanita di Jalan Diponegoro hendak dijadikan Rumah Adat Tionghoa. Walikota Tjhai Chui Mie (TCM) telah menggundang pengusaha saat lahan belum beres.
“Saya tidak tahu pasti apakah lokasi untuk rumah adat itu dikelola perorangan atau yayasan. Yang jelas akan dijadikan lokasi mendirikan rumah adat tionghoa,” ujar Widatoto S, Kepala Badan Keuangan Daerah Kota Singkawang kepada pontianak times, Sabtu (27/8/2022).
Menurut Widatoto, status eks Gedung Wanita yang rencananya untuk Rumah Adat Tionghoa di Jalan Diponegoro awalnya Aset Bekas Milik Asing (ABMA). Pemkot telah mengajukan usulan perubahan status ABMA menjadi Hak Pengelolaan (HPL) melalui persetujuan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI.
Kemenkeu sudah memproses lahan tersebut yang diawali dengan pengajuan usulan dari Pemkot Singkawang hingga keluar HPL bertujuan menunjang kelancaran tugas dan fungsi pemerintahan di Kota Singkawang. HPL tidak dapat dihibahkan kepada perorangan maupun lembaga, sesuai tujuan perubahan status lahan yang diberikan Kemenkeu.
Kabid Aset Badan Keuangan Daerah (BKD) Kota Singkawang, David Junaidi dikonfirmasi terpisah mengatakan dirinya belum tahu pola yang dipakai untuk pemanfaatan aset tersebut. “Nanti ada usulan dari pengguna anggaran. Kalau digunakan untuk perorangan tak boleh,” kata David.
David meyakini mengenai persoalan lahan itu menggunakan dasar hukum Permendagri bukan Permenkeu. “Penggunaan lahan harus sesuai permendagri dan kalau dihibahkan tidak boleh dan pasti akan kami tolak,” ujar David.
Saat berproses usulan tersebut, TCM ternyata telah melakukan ekspos rencana pembangunan dengan mengundang kalangan pengusaha pada Jumat (26/8/2022). Rencananya pembangunan itu di aset ek Gedung Wanita seluas lebih kurang seribu meter persegi di Jalan Pangeran Diponegoro.
Dalam hal ini, tentu saja perlu penerapan aturan jelas soal tata cara pemakaian kekayaan daerah dan pemungutan retribusi pemakaian kekayaan daerah. Pemkot Singkawang memang sudah memiliki aturan tersebut setingkat Perwako.
Namun apakah pola yang diterapkan dari pemakaian lahan tersebut. Apakah ada kontribusi atau pungutan retribusi berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP)? Jika tidak boleh dihibahkan, lantas apakah boleh dalam bentuk pinjam pakai atau disewakan?
Sejarah Aset
Sejarah aset tersebut diketahui sebagai Aset Bekas Milik Asing/Tionghoa (ABMA/T). Berdasarkan Permenkeu Nomor 62/PMK.6/2020, ABMA/T adalah aset yang dikuasai Negara berdasarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat Nomor Prt/Peperpu/032/1958.
Diperkuat lagi dengan keputusan Penguasa Perang Pusat Nomor Kpts/Peperpu/0439/1958 junto Undang-Undang Nomor 50 Prp. Tahun 1960, Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962, Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1962 jo. Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Nomor 52/KOTI/1964 dan Instruksi Radiogram Kaskogam Nomor T-0403/G-5/5/66.
Lingkup ABMA/T itu meliputi tanah dan/atau bangunan bekas milik perkumpulan-perkumpulan Tionghoa itu dinyatakan terlarang dan dibubarkan dengan peraturan Penguasa Perang Pusat. Lingkup lainnya meliputi perkumpulan/aliran kepercayaan asing yang tidak sesuai kepribadian Bangsa Indonesia yang dinyatakan terlarang dan dibubarkan.
Selain itu, perkumpulan-perkumpulan yang menjadi sasaran aksi massa/kesatuan-kesatuan aksi tahun 1965/1966 sebagai akibat keterlibatan Republik Rakyat Tjina (RRT) dalam pemberontakan G.30.S/PKI yang ditertibkan dan dikuasai oleh Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah. Organisasi yang didirikan oleh dan/atau untuk orang Tionghoa perantauan (Hoa Kiauw) yang bukan Warga Negara Asing yang telah mempunyai hubungan diplomatik dengan Negara Republik Indonesia dan/atau memperoleh pengakuan dari Negara Republik Indonesia, beserta cabang dan bagian-bagiannya.(rn1)