Pontianak. Hantaman gelombang kedua Covid-19 dengan kemunculan varian baru cukup membuat repot pemerintah. Fundamental ekonomi Indonesia dianggap mampu melewatinya meskipun terseok-seok. Perlu skala prioritas akibat kebijakan trial and error melalui pengalihan dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk investasi kesehatan.
Demikian kesimpulan dari diskusi zoom meeting bertajuk ‘Bincang Santai: Covid-19, PPKM dan Isolasi Mandiri’ yang digelar Ikatan Senat Mahasiswa Ekonomi Indonesia (ISMEI), Selasa (13/7/2021). Diskusi menghadirkan narasumber diantaranya pegiat ekonomi masyarakat, Mahmudin Muslim, dan Andre Rate. Juga pegiat sosial Anthon Adhikusuma, Wahyu selaku Badan Pimpinan ISMEI dengan host, Fitroh Nadyah Korwil ISMEI Jawa Timur. Diskusi diikuti peserta dari berbagai daerah se-Indonesia.
“Pemerintah dalam kondisi dilematis setelah terjadi lonjakan kasus positif covid varian delta. Di sisi lain harus menggenjot perekonomian nasional, tetapi di sisi lain terkendala masalah kesehatan dan keberlangsungan kehidupan masyarakat,” kata Wahyu mengawali diskusi.
Wahyu menuturkan banyaknya masyarakat yang isolasi mandiri dan tidak terjangkau layanan pemerintah, kemudian meninggal dunia. Kebutuhan layanan kesehatan dan makanan tidak terpenuhi. “Mengapa stimulus pemerintah berupa bantuan belum efektif menyasar masyarakat,” tanya Wahyu.
Persoalan akibat covid memang semakin rumit. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kemudian digulirkan untuk Jawa dan Bali. Di beberapa daerah juga turut menerapkan hal yang sama. Kebijakan ini lanjutan dari PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar. “Terjadi tarik ulur kebijakan yang sifatnya trial and error. Berbeda dengan negara lain, mereka lockdown kemudian warganya berdiam di rumah dan pemerintahnya siap,” kata Mahmuddin Muslim.
Mahmuddin mengaku tidak habis pikir. Mengapa tidak lockdown atau karantina wilayah saja. Dari PSBB terus PPKM, dan ada benturan. Intinya, bangsa ini tidak terlatih menghadapi kedaduratan. “Kalau di awal pandemi kita maklum. Seharusnya pemerintah cukup belajar beberapa bulan dengan melakukan komparasi dari negara lain. Ini sudah berlarut-larut dan semua menjadi korban, pemerintah, aparat, dan kita semua,” kata dia.
Menurut Mahmuddin, yang terjadi belakangan justru pemulihan ekonomi padahal kondisi masyarakatnya sakit. “Perlu pulih dulu kesehatannya, baru kemudian bicara soal ekonomi. Sekarang sudah telanjur harus dihadapi, covid itu ada dan kita harus bersatu agar penularannya dapat ditekan,” ujar dia.
Posisi kita, kata Mahmuddin, pada level bertahan saja. Yang bekerja kantoran masih terima gaji, tetapi was-was karena banyak perusahan yang merumahkan karyawannya. Malah ada juga yang pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Semua orang terdampak ekonomi terutama sektor informal. “Seperti tukang ojek dan lain-lain. Harus keluar rumah, karena kalau tidak, maka tak makan. Padahal resiko terpapar covid cukup tinggi,” ujarnya.
Dijelaskan dia, pemerintah memang menggelontorkan bantuan sosial (Bansos) dan itu tentu ada gunanya. Hanya saja apakah datanya valid. Apakah efektif dan mencukupi atau tidak, dengan kondisi orang tak boleh kemana-mana. “Miris melihat tukang ojek, pedagang nasi goreng dan lainnya disemprot pake air disuruh tutup. Mereka cuma menjalani hidup, bukan demonstran. Negara harus membelai rakyatnya dengan baik,” kata Mahmuddin yang kerap menyaksikan kejadian tersebut di depan matanya.
Yang menjadi masalah, lanjut alumni Universitas Tanjungpura ini, adalah orang berkerumun. Masyarakat kita pada umumnya sudah memiliki kesadaran menerapkan protokol kesehatan. “Lain halnya kalau orang-orang makan di tempat, berkumpul dan terjadi kerumunan. Ada kluster baru,” ujar dia.
Hal krusial, menurut Mahmuddin, adalah praktik di lapangan atas penerapan kebijakan. Setiap hari kita menyaksikan warga adu mulut dengan petugas. Energi habis, uang tidak ada dan imun turun. Padahal covid perlu gembira agar imun bagus. “Kebayang nggak orang-orang kecil, nggak punya uang, mau PCR mahal, beban semakin beratimun turun. Kita setuju PPKM tetapi konsisten dalam memberlakukannya,” kata dia.
Dengan asumsi mobilitas di Jakarta pada siang hari terdapat 12 juta orang, sebetulnya Work From Home (WFH) saja sudah cukup. “Kalau WFH jalan, berarti ada sekitar 5 juta orang yang berdiam di rumah. Ini sudah cukup membantu khusus untuk lokal Jakarta. Nah sekarang kan kasian para petugas. Saya melihatnya sudah seperti darurat militer,” ujar Mahmuddin.
Antigen dan PCR Gratis
Sementara itu Andra Rante lebih menekankan pada pentingnya pemerintah untuk tidak ragu berinvestasi di sektor kesehatan. “Tracing dan testing dilakukan dengan pembiayaan semuanya ditanggung pemerintah. Dilakukan menyeluruh dan serempak. Begitu caranya kalau mau memutus mata rantai covid,” kata Andra.
Andra mencermati telah terjadi kebijakan pemerintah yang bersilangan. Seharusnya setiap kebijakan dibarengi dengan solusi. Sebab dalam bernegara terdapat konsensus agar masyarakat mendapatkan pelayanan. “Karena kita cinta negeri ini, maka kita memberi masukan kepada pemerintah,” ujar Andra
Andra yang juga Ketua Bidang Ekonomi Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI) ini memberikan gambaran penanganan pandemi di negera lain. Singapura, masyarakatnya sudah menganggap flu biasa, tetapi menerapkan prokes. Vietnam datanya semakin menurun dan penanganan covid tetapi tidak terlalu mengganggu ekonominya. Demikian pula India yang penduduknya banyak.
“Pemerintah Indonesia harus berani investasi kesehatan. Gratiskan PCR dan antigen untuk seluruh masyarakat Indonesia. Isolasi ditangani total pemerintah termasuk biaya media dan lainnya apabila serius ingin memutus mata rantai, harus punya tool. India berani investasi. Kebijakan juga perlu berantai dan menopang satu sama lainnya,” tegas Andra.
Vaksin tanpa testing
Pembicara lainnya dalam diskusi zoom meeting ISMEI ini adalah Anthon Adhikusuma. Ia tidak mau menyalahkan pemerintah dan lebih menekankan pada penyampaian aspirasi. Bansos berupa uang tunai di musim pandemi, sudah cukup membantu meskipun bukan jaminan. “Nilainya memang terlalu sedikit. Apalagi untuk satu keluarga,” kata Anthon.
Anthon mengaku janggal dalam hal penerapan kebijakan vaksinasi covid. “Menurut saya vaksinasi itu kurang efektif, jika tidak melewati terlebih dahulu antigen atau PCR. Padahal kalau mau bepergian jauh saja harus testing antigen dan PCR. Tapi tidak ketika mau vaksin. Harusnya dinyatakan bebas covid dulu, baru boleh divaksin,” kata Anthon.
Ia menuturkan, ada beberapa sampel kasus saat orang divaksin ternyata sudah kena covid. “Apakah sudah tertular sebelum vaksin atau sesudahnya, kita tidak tahu. Mengapa tidak se-Indonesia saja di PCR. Kalau sudah ada hasilnya baru boleh divaksin,” saran Anthon.
Di sesi akhir diskusi, peserta menyepakati untuk menggelar zoom meeting berikutnya dalam waktu dekat melalui Focus Group Discussion (FGD). Bahasannya adalah mengeluarkan rekomendasi ISMEI yang akan disampaikan kepada pemerintah. Secara teknis, terutama terkait dana PEN yang bisa digunakan untuk investasi kesehatan. Diketahui untuk tahun 2020 terdapat Rp400 Triliun 2020 dan 2021 sebanyak Rp600 Triliun.
Penulis: R. Rido Ibnu Syahrie