Singkawang – Banyak kalangan mempertanyakan predikat ‘Sangat Inovatif’ yang diraih Pemerintah Kota (Pemkot) Singkawang pada ajang Innovative Government Award (IGA) Tahun 2021. Sedangkan di sisi lain anjlok dalam hal penilaian sektor pelayanan publik.
“Pencapaian kinerja pemerintahan daerah sangat layak mendapat apresiasi jika betul dianggap berhasil. Demikian juga ketika gagal dalam penerapan kebijakan. Reward dan punishment itu sangat penting,” kata M. Chandra, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik kepada pontianak-times.co.id, Selasa (11/1/2021).
Dijelaskan Chandra, setelah mengamati update informasi terkait IGA Tahun 2021 yang diraih Singkawang, maka masyarakat layak memberikan acungan jempol. Tetapi perlu dilihat juga indikator dan parameternya. “Yang lebih penting adalah kenyataan atau kondisi riil di lapangan,” ujar Chandra.
Seperti diketahui, Pemkot Singkawang meraih Innovative Government Award (IGA) Tahun 2021 dengan kategori sebagai kota sangat inovatif dengan indeks nilai tertinggi 70,63. Penghargaan ini disematkan Mendagri RI di akhir Tahun 2021.
Selain Kemendagri, ternyata Ombudsman RI juga mengeluarkan laporannya terkait kinerja pelayanan publik. Hasilnya cukup mengejutkan, Kota Singkawang mendapatkan predikat kepatuhan sedang dengan skor 68.34 atau masuk zona kuning dalam hal pelayanan publik.
“Seharusnya kan linear antara kepatuhan standar pelayanan publik dengan pencapaian predikat inovasi. Kita melihat ada kesenjangan, kontradiktif dan membingungkan. Mana sesungguhnya yang harus dipercaya oleh publik,” papar Chandra.
Ia mengajak masyarakat untuk berpikir logis dari parameter penilaian yang digunakan. Untuk inovasi daerah yang digunakan Kemendagri mengunakan dua aspek diantaranya satuan pemerintahan daerah dan satuan inovasi. Masing-masing aspek itu memiliki 7 variabel dengan 36 indikator.
Sedangkan parameter yang dipakai Ombudsman, kata Chandra, adalah pada pelayanan publik yang nampak dengan objek penilaian pada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil).
“Kita ambil contoh kecil saja, Kota Singkawang membuat inovasi dengan membuat Mall Pelayanan Publik di Singkawang Grandmall yang mulai beroperasi Oktober 2020 lalu. Di lokasi lantai tiga mall itu ada 113 layanan dari 11 instansi vertikal dan 3 OPD,” ujar Chandra.
Menurutnya, orang awam pun menganggap itu terobosan luar biasa dan inovatif. Tetapi mengapa Ombudsman justru memposisikan Singkawang pada zona kuning tingkat kepatuhan standar pelayanan publik? Padahal penilaian Ombudsman itu belum memasukan variabel kepuasan pengguna layanan maupun kompetensi penyelenggara.
“Ada baiknya pihak Pemkot Singkawang dalam hal ini Walikota dapat menjelaskan kepada masyarakat terkait pencapaian IGA dan standar kepatuhan pelayanan publik yang terjadi disparitas itu. Boleh jadi mall pelayanan publik itu justru tidak efektif dan efisien sehingga biaya yang dikeluarkan justru lebih besar dibandingkan hasilnya,” kata Chandra.
Chandra yang juga aktivis 98 ini menjelaskan pemerintah pusat perlu realistis dalam menerapkan reward berupa penghargaan, yang itu tujuannya guna memacu kinerja pemerintah di daerah. Demikian juga jangan sungkan-sungkan untuk memberikan punishment atau hukuman.
“Sehingga penilaian tersebut tidak hanya pencitraan saja. Sebab yang merasakan langsung adalah masyarakat sebagai pengguna dan pihak terdampak dari kebijakan,” kata Chandra.
- Penulis : R. Rido Ibnu Syahrie