Pontianak – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pontianak telah memutus 21 terdakwa dalam tuduhan kejahatan terhadap penguasa umum terkait Masjid Ahmadiyah di Sintang. Tersisa satu terdakwa lagi, Fathurruzi alias Dedeh Al-Sintangi yang sudah menyelesaikan nota pembelaan/pledoi.
“Kami sudah membacakan nota pembelaan pada sidang tanggal 6 Januari 2022 yang memohon kepada majelis hakim agar membebaskan terdakwa, dilanjutkan dengan replik dan duplik secara lisan,” kata Denie Amirudin SH MHum, Juru Bicara Tim Advokat Dedeh kepada pontianak-times.co.id, Minggu (9/1/2022).
Sidang vonis terhadap Dedeh dengan Nomor Perkara 819/Pid.B/2021/PN PTK, dijadwalkan akan digelar Kamis (13/1/2022) pukul 09.30 di Ruang Sidang Cakra Kantor Pengadilan Negeri Pontianak. Dedeh akan tetap didampingi tim 7 berisi advokat antara lain Syarif Kurniawan, Denie Amiruddin, Ridwan MY, Bayu Sukmadiansyah, M Rosi Rosihan, M. Mukti Ali dan Fahrurrazi.
Dedeh merupakan terdakwa terakhir yang dikaitkan dengan tulisannya di WhatApp Grup (WAG) DPD Sebayu Sintang pada peristiwa 3 September 2021. Terjadi penolakan masyarakat atas keberadaan Masjid Miftahul Huda milik Ahmadiyah di Jalur 9 Desa Balai Harapan Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang. Dari kasus ini, polisi menetapkan 22 tersangka. Sebanyak 21 orang diantaranya telah vonis hukuman penjara 4 bulan 15 hari.
Dedeh akan menghadapi putusan dari perkara yang dituduhkan sesuai pasal 160 KUHP, penghasutan supaya melakukan perbuatan pidana di muka umum dengan lisan atau tulisan. “Selaku penasihat hukum terdakwa, kami mohon agar majelis hakim menyatakan terdakwa Dedeh tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan atau lepas dari segala tuntutan hukum,” kata Denie saat membacakan pledoi.
Persidangan dilakukan secara hybrid. Majelis Hakim bersama-sama JPU dan panasehat hukum berada di ruang sidang Pengadilan Negeri Pontianak. Sedangkan terdakwa berada di Polda Kalimantan Barat yang tersambung secara virtual.
Permohonan Tim 7 tersebut diperkuat dengan uraian yang lengkap berdasarkan fakta persidangan termasuk keterangan sepuluh orang saksi, selama delapan kali persidangan sejak 18 November 2021. Surat tuntutan dari JPU yang menuntut Dedeh penjara 6 bulan dianggap tim advokat adalah keliru, tidak serius dan imaginatif serta spekulatif. Semua kelemahan tuntutan JPU itu diuraikan rinci.
Demikian pula terkait unsur-unsur yang dituduhkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di pasal 160 KUHP, dimentahkan. Unsur ‘Barang Siapa’ atau “Setiap Orang” merupakan subyek hukum memenuhi unsur ini, namun untuk terpenuhinya sebagai subjek hukum yang bersalah haruslah didukung unsur perbuatannya, apakah benar terbukti atau tidak.
Unsur “Di muka Umum” diartikan sebagai tempat publik. Berdasar ahli hukum pidana yang dihadirkan dalam persidangan, yakni Abunawas SH MH, merupakan tempat dimana setiap orang bisa mengakses secara langsung tanpa konfirmasi terlebih dahulu, dimana orang-orang tersebut tidak saling mengenal satu sama lainnya. Ahli berpendapat bahwa WhatApps Group (WAG) bukanlah di muka umum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 160 KUHP.
Keterangan ahli ITE, Novi Safriadi ST MT, menjelaskan konten dalam WAG bersifat tertutup atau privat, bukan medsos. Hal ini senada dengan SKB Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, dan Kapolri Nomor: 229 tahun 2021, Nomor:154 tahun 2021 Nomor: KB/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi Elektronik.
Unsur “Lisan atau tulisan” dalam pasal 160 KUHP harus memenuhi secara materiil, adanya hasutan atau ajakan untuk melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. “Tidak ada satu kalimatpun yang mengandung makna hasutan secara lisan maupun tulisan. Dalam penyampaiannya pun bukan di lokasi Masjid Miftahul Huda karena Dedeh tertahan cukup lama di blokade barisan depan,” ujar Denie seraya menjelaskan hal itu diperkuat saksi dalam persidangan.
Terkait unsur “Menghasut” yang bermakna mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Tim 7 advokat pendamping Dedeh mempertanyakan apakah benar Dedeh melakukan hasutan. Sedangkan faktanya, tidak satupun anggota WAG yang melakukan pengrusakan Masjid tersebut akibat Dedeh. Mereka yang hadir ke tempat kejadian karena diajak orang lain.
Unsur “Melakukan kekerasan” tak luput dikuliti oleh Tim 7. Unsur ini merupakan dampak dari adanya hasutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 KUHP. Dengan kata lain “melakukan kekerasan” merupakan akibat dari sebab hasutan. Dalam fakta persidangan JPU tidak mampu membuktikan Dedeh telah melakukan penghasutan untuk melakukan kekerasan.
“Memang ada pengrusakan Masjid Ahmadiyah, namun dalam fakta persidangan terbukti bahwa kekerasan yang terjadi bukan disebabkan adanya hasutan dari Dedeh. Semua saksi-saksi tidak satupun menerangkan Dedeh menghasut mereka untuk melakukan kekerasan berupa pengrusakan Masjid Ahmadiyah,” papar Denie.
Sedangkan mengenai unsur “Penguasa Umum” ini haruslah dimaknai bahwa perbuatan melakukan kekerasan dimaksud dalam Pasal 160 KUHP tersebut bertentangan dengan perintah dari “Penguasa Umum”. Aliran Ahmadiyah diketahui merupakan aliran atau ajaran yang telah dilarang oleh pemerintah sebagai penguasa umum.
Larangan ajaran Ahmadiyah ini ditandai dengan dikeluarkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menetapkan dalam Munas II pada 26 Mei – 1 Juni 1980 yang intinya menyatakan ajaran Ahmadiyah itu di luar Islam, serta sesat dan menyesatkan (dhollun wa mudhillun).
“Kami yakin dan percaya majelis hakim akan menjatuhkan putusan yang adil dan benar berdasarkan fakta hukum dan keyakinannya. Mudah-mudahan ketukan palu majelis hakim memberikan pertanggungjawaban yang benar demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Denie.
- Editor : R. Rido Ibnu Syahrie