Jakarta. Diaspora Indonesia baru selesai agenda persidangan di Mahkamah Konstitusi terkait gugatan ambang batas pencalonan presiden atau Presidensial Treshold (PT), Rabu (23/2/2022).
Diaspora yang beranggotakan 27 Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri ini telah memperbaiki gugatan berdasarkan masukan-masukan dari Majelis Hakim. “Setidaknya ada 12 poin perbaikan,” kata Muhamad Raziv Barokah, Kuasa Hukum Para Pemohon.
Perbaikan itu berupa perbandingan dengan negara-negara lain dalam hal persyaratan pencalonan sebagai presiden antara pemilihan presiden di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Para Pemohon menyanggah pernyataan Hakim Konstitusi Saldi Isra yang mengatakan di Amerika Serikat hanya ada dua partai politik, Demokrat dan Republik serta calon yang maju melalui jalur independen.
“Salah besar apabila majelis hakim mahkamah konstitusi mengatakan Amerika Serikat hanya memiliki dua partai politik,” ungkap Chris Komari, WNI yang telah menetap 30 tahun di Amerika Serikat. Chris juga merupakan akitivis demokrasi dan Anggota City Council tahun 2002 dan 2008.
Justru, kata Chris, ada banyak sekali partai politik. Bahkan pemilihan presiden tahun 2020 lalu secara resmi terdaftar sebanyak 1.212 kandidat presiden di Federal Election Commission (FEC), semacam KPU di Indonesia.
Menurut Chris, yang menjadi prinsip dasar dan fundamental dari sistem demokrasi adalah sejauh mana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu dalam pemerintahan, pemilihan umum, dan parlemen. Kedaulatan rakyat adalah prinsip demokrasi yang tertinggi, bukan kedaulatan pemerintah, bukan kedaulatan presiden, bukan kedaulatan parlemen dan bukan pula kedaulatan partai politik.
Chris menambahkan, tidak ada satupun negara di dunia yang menerapkan ambang batas pencalonan presiden. PT tersebut berdampak pada penurunan kualitas demokrasi di suatu negara. Buktinya, indeks demokrasi di Indonesia menurun akibat 5 faktor.
Kelima faktor itu antara lain elektoral proses dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, kultur politik, dan kebebasan sipil. “Itu berdasarkan Economist Intelligent Unit, lembaga internasional yang selalu mengadakan survei setiap tahun untuk mengukur kualitas suatu negara,” ujarnya.
“PT akan mengurangi makna pluralisme dalam pilpres lantaran lebih mengedepankan fungsi partai politik daripada fungsi pemerintahan. Selain itu, mengurangi partisipasi politik masyarakat dalam pilpres karena telah dikuasai oleh partai politik,” kata dia.
Hal lainnya, lanjut Chris, membentuk kultur politik yang berorientasi pada partai politik yang tidak sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Serta mengurangi kebebasan sipil karena masyarakat biasa tidak akan pernah bisa menjadi kandidat presiden, terlebih kami WNI diaspora,” ujar Chris.
Ketentuan PT terdapat dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menurut para pemohon telah menyalahi Undang-Undang Dasar 1945, tentang kebebasan memilih maupun dipilih, baca: Diaspora 12 Negara. Selain itu, keberadaan regulasi ambang batas pencalonan presiden tersebut berpotensi menciptakan pemerintahan yang tidak berpihak pada rakyat.
Selain Raziv, kuasa hukum lainnya adalah Denny Indrayana yang juga Wakil Menteri Hukum dan HAM periode 2011-2014. Menurut Denny, hadirnya Pasal 222 UU Pemilu telah mengakibatkan tertutupnya hak rakyat yang ingin mencalonkan diri menjadi presiden, termasuk diantaranya WNI di luar negeri atau diaspora. “Kebijakan pembatasan tersebut melanggengkan oligarki,” imbuh Denny.
Editor : R. Rido Ibnu Syahrie