Jakarta. Ketentuan ambang batas pencalonan presiden (Presidential Treshold) 20 persen dalam pasal 222 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017, dianggap menghambat demokrasi yang memosisikan kedaulatan ada di tangan rakyat.
Demikian ditegaskan Tata Kesantra, Juru Bicara Diaspora Indonesia yang tergabung dalam Forum Tanah Air (FTA), Rabu (5/1/2022) usai melakukan gugatan judicial review PT 20 Persen ke Mahkamah Konstitusi (MK).
FTA beranggotakan warga Indonesia yang berada di 12 negara dan bekerja pada berbagai sektor diantaranya di kantor pusat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), dan di kantor Parlemen Eropa. Ada juga yang menjadi pengusaha, profesional, karyawan swasta, sampai buruh migran, pensiunan, dan ibu rumah tangga. Dari segi usia, anggota diaspora ini bervariasi. Mulai dari milenial berusia 28 tahun hingga yang berusia 75 tahun.
“Tidak ada satu pun negara demokrasi yang menerapkan ambang batas dalam pencalonan presiden,” ujar Tata. Dari diskusi FTA, muncul ide untuk melakukan judicial review. Hal ini selanjutnya dibawa dalam diskusi akhir tahun dalam kaleideskop Hukum dan HAM bersama Refly Harun dan Haris Azhar.
Diskusi berlanjut dalam Kaleideskop Politik bersama Rocky Gerung, Fadli Zon dan Mardani Ali Sera. Setelah FTA berkomunikasi dengan pakar tata negara, Refly Harun untuk meminta arahan tentang pengajuan gugatan apakah perseorangan atau badan hukum.
“Maka kami mengajukan atas nama perseorang secara bersama sama, karena FTA tidak berbadan hukum Indonesia,” kata Tata Kesantra. FTA berisi anggota yang tinggal antaralain di Amerika Serikat, UK, Eropa, Timur Tengah, Asia Pasifik, hingga Australia. Serlanjutnya memberi kuasa kepada pengacara Refly Harun & Parners serta Denny Indrayana Law Firm untuk mewakili gugatan ke MK.
Permohonan gugatan diajukan Jumat (31/12/2021) pukul 22.00 WIB dan ditandatangani oleh panitera MK, Senin (3/1/2022) pukul 16.41 WIB. “Aturan tentang PT dalam pasal 222 UU No 7 tahun 2017 bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945, antara lain Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 6A ayat (5), yang tidak mengandung ketentuan tentang ambang batas,” kata Tata.
Ketentuan itu, lanjut Tata, berakibat pada pembatasan munculnya calon-calon presiden dan ini menghambat demokrasi. Padahal, konstitusi menjamin bahwa rakyat Indonesia dalam setiap lima tahun diberi kesempatan untuk memilih calon-calon pemimpin yang amanah untuk memperjuangkan kepentingan bangsa dan negara, karena kedaulatan ada ditangan rakyat.
Menurut Tata, kedaulatan bukan berada d itangan partai atau segelintir elit yang berkedok membela kepentingan bangsa dan negara, tetapi akhirnya menjadikan bumi dan kekayaan alam Indonesia sebagai bancakan bersama.
“Diaspora Indonesia sangat merindukan pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Untuk itu kami meminta secara konstitusional agar aturan tentang PT 20 persen dibatalkan dan diubah menjadi 0 persen, untuk menjamin berjalannya demokrasi di tanah air,” tegas Tata.
Tata yang karyawan swasta di New York USA ini berharap agar seluruh anak bangsa bersama-sama menuntut hak konstitusionalnya dan kedaualtan harus dikembalikan kepada rakyat. Caranya, mendukung FTA dalam melakukan judicial review sebagai salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk mendapatkan pemimpin amanah.
“Semoga nantinya dapat membawa bangsa dan negara Indonesia sebagai negara yang adil dan makmur serta disegani dalam pergaulan Internasional,” ujar Tata.
Berikut daftar anggota FTA yang menggugat PT 20 persen:
- Tata Kesantra, karyawan swasta, tinggal di New York USA
- Ida Irmayani, karyawan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tinggal di New York USA
- Sri Mulyani Masri, karyawan swasta, tinggal di New Jersey, USA
- Safur Baktiar, karyawan swasta, tinggal di Pennsylvania, USA
- Padma Anwar, karyawan swasta, tinggal di New Jersey, USA
- Christcisco Komari, karyawan swasta, tinggal di California, USA
- Krisna Yudha, karyawan swasta, tinggal di Washington, USA
- Eni Garniasih Kusnadi, karyawan swasta, tinggal di California, USA
- Novi Karlinah, karyawan swasta, tinggal di California, USA
- Nurul Islah, dental ceramist, tinggal di Washington, USA
- Faisal Amini, Restorative Nurse, tinggal di Washington, USA
- Muhammad Maudy ALwi, konsultan aset dan keuangan, tinggal di Bonn Jerman
- Marnila Buckingham, ibu rumah tangga, tinggal di West Sessex UK (Inggris)
- Deddy Heyder Sungkar, wiraswasta, tinggal di Amsterdam, Netherland
- Rahmatiah, karyawan swasta, tinggal di Paris, Perancis
- Mutia Saufni Fisher,ibu rumah tangga, tinggal di Switzerland
- Karina Ratana Kanya, ibu rumah tangga, tinggal di Singapore
- Winda Oktaviana, buruh migran Taiwan, tinggal di Taiwan
- Tunjiah Binti Dul Warso, buruh migran Hongkong, tinggal di Kowloon Hongkong
- Muji Hasanah, buruh migran Hongkong, tinggal di Hongkong
- Agus Riwayanto,karyawan swasta, tinggal di Hiroekimae Jepang
- Budi Satya Pramudia, wiraswasta, tinggal di Western Australia, Australia.
- Jumiko Sakarosa, ibu rumah tangga, tinggal di Western Australia, Australia
- Ratih Ratna Purnami, pensiunan, tinggal di Western Australia, Australia
- Fatma Lenggogeni, karyawan swasta, tinggal di New South Wales, Australia
- Edwin Syafdinal Syafril, karyawan swasta, tinggal di Qatar
- Agri Sumara, karyawan swasta, tinggal di Qatar
Editor : R. Rido Ibnu Syahrie