Pada bagian 1 tulisan sebelumnya terdapat pemaparan wahyu yang menjadi dasar Isra yaitu surat Al-Isra ayat 1. Sedangkan ayat yang menjadi dasar Mikraj Rasululah, tertuang dalam surat An-Najm ayat 1 – 18.
“Demi bintang bilamana telah terbenam. Tidaklah tersesat teman kamu dan tidaklah ia keliru. Dan tidaklah ia bertutur dari kemauan sendiri. Tidaklah ia itu melainkan wahyu yang diwahyukan. Yang memberikan ajaran ialah yang sangat kuat. Yang mempunya keteguhan dan menampakkan diri yang asli. Sedang ia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian ia mendekat, bertambah dekat. Maka jadilah dekatnya sejarak dua busur panah atau lebih dekat. Maka diapun mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang hendak Ia wahyukan” (Hamka : Juz XXVII : 1982 : 102-103).
“Tidaklah mendustakan hati apa yang dilihat. Apakah hendak kamu bantah tentang apa yang dilihatnya. Dan sesungguhnya benar-benar telah dilihatnya di waktu yang lain, di dekat Sidratil Muntaha. Di dekatnya itu ada tempat-tempat tinggal. Tatkala menutupi pohon itu apa yang menutupi. Tidaklah menyimpang dari pandangannya itu tidaklah melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat dari ayat-ayat Tuhannya Yang Maha Besar” (Hamka : Juz XXVII : 114).
Ayat-ayat ini dipahami sebagai berita tentang perjalanan Nabi yang sampai kepada batas akhir, melakukan mikraj. Naik sekaligus turun menemui Tuhannya di Sidratul Muntaha. Keyakinan terhadap Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menemui Tuhannya itu sama halnya keyakinan kita terhadap Nabi Musa ‘Alaihissalam yang menemui dan berkata-kata dengan Tuhannya.
Inilah ayat yang dapat memberikan pemahaman bahwa secara psikologis Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah sampai pada satu puncak pengalaman dan pengalaman keagamaannya. Tentu saja dalam perjalanan banyak hal diperlihatkan sebagai show of force sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya.
Unjuk kekuatan dan kebesaran itu jelas tidak akan diperlihatkan sebatas mimpi. Karena sangat riskan bahkan tidak sebanding dengan kebesaran Tuhan itu sendiri. Maka, secara umum peristiwa ini merupakan ayat-ayat sebagai tanda kekuasaan Allah Subhanahu Wata’Ala kapada kita selaku manusia.
Allah Subhanahu Wata’Ala dalam ayat terakhir surat An-Najm menutupnya dengan mengatakan: ”Sesungguh Dia telah melihat ayat-ayat Tuhannya Yang Maha Besar”. Maka dalam tafsir Al-Azharnya, Hamka mengatakan: “Beliau di Israkan karena Tuhan akan memperlihatkan ayat-ayat-Nya kepadanya. Ayat maha penting sekali dari banyak ayat itu ialah Mikraj Rasulullah ke langit itu. (Hamka : XV : 1982 : 9).
Dengan demikian, jika Nabi melihat tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahu Wata’Ala yang telah diperlihatkan dengan mata secara fisik. Maka mikraj juga dalam bentuk utuh, secara fisik dan psikis. Oleh karena itu perkataan Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Arab kerap menggunakan kata Ru’yah dalam arti penglihatan mata, maka Ru’yah yang tersebut dalam ayat Al-Isra ayat 60. Artinya : “Dan kami tidak menjadikan ru’ya yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan ujian bagi manusia”. (Depag RI : V : 1983/1984 : 516).
Ilmu Pengetahuan Modern
Tentang kebenaran dan kepastian terjadinya Isra dan Mikraj ini dari dimensi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Modern mungkin kita dapat menjelaskannya. Yaitu jika kita lihat dari kerangka teori kenisbian waktu seperti yang dikembangkan Robert Einstein .
Nur Cholis Majid menyebutkan “ …kalau Einstein dan para Ilmuan dapat membangun teori bahwa manusia dapat berjalan-jalan ke masa lalu dan masa mendatang antara lain berdasarkan kenisbian waktu. Teori itu telah dituangkan dalam tulisan-tulisan science fiction, sebagai teori ide tentang adanya lorong waktu (time tuned). (DR. Cholis Majid : 1995:20).
Maka mungkin saja Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dalam Isra dan Mikraj itu atas kehendak Allah. Karena dibebaskan oleh-Nya dari belenggu dimensi ruang waktu telah melakukan perjalanan dalam ‘lorong waktu’. Sehingga beliau dapat melihat dan mengalami hal-hal di masa lalu dan di masa mendatang sekaligus. Sebab Allah Subhanahu Wata’Ala tidak terikat ruang dan waktu. Dan ruang serta waktu itu tidak lain adalah ciptaan-Nya yang tidak mutlak dan tidak abadi …. “(DR. Cholis Majid : 1995:20)
Nur Cholis Madjid lebih lanjut memaparkan bagaimana Rosulullah mengalami Isra dan Mikraj dalam kehendak Allah dan kemahakuasaan-Nya, tidak terlalu relevan . Kita percaya kepada Allah, dan kita membenarkan terjadinya Isra dan Mikraj itu dengan sepenuh hati, sebagaimana hal itu telah diteladankan Sahabat Abu Bakar Rodhiyallahu Anhum.
Apabila Isra dan Mikrajini hanya berdasarkan kemampuan akal saja, kelaziman dan dibandingkan dengan realitas hidup, dengan alat transportasi tercanggih saat ini, maka peristiwa itu dapat saja menjadi “unreasonable” (tidak logis dan tidak realistis).
Kita keburu mengatakan bahwa peristiwa itu hanyalah ‘mimpi’. Padahal jika berupa mimpi, tentulah Rosulullah tidak perlu bersedih dan bersusah payah menceritakan peristiwa ini. Dan tentu pula tidak akan terjadi silang pendapat di kalangan umatnya tentang kisah ini.
Ilmu pengetahuan sekarang ini membenarkan teori telepati serta pengetahuan lain yang berhubungan peristiwa ini. Demikian transmisi suara di atas gelombang eter dengan radio, telefotografi (facsimile transmisi) dan teleprinter lainnya. Suatu hal yang tadinya berupa khayal belaka. Potensi alam yang masih tersimpan ini setiap hari masih selalu memperlihatkan sesuatu yang baru kepada alam kita.
Allah Subhanahu Wata’Ala memperlihatkan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya (QS:17:1). Bukan untuk mengambil perintah salat. Perintah salat adalah oleh-oleh untuk Rasulullah setelah perjalanan. Inilah dampak langsung bagi umat Islam, karena oleh-oleh Rasul berupa salat itu adalah suatu kewajiban. Karena salat seperti yang dikatakan Nabi adalah Mikrajnya kaum muslimin.
Peristiwa ini jelas berdampak secara politis bagi umat dan perjuangan Rosulullah pada masa lalu, kini dan yang akan datang. Karena itulah peristiwa Mikraj ini sebagai pemilah antara pendukung dan pembangkang. Antara kawan dan lawan. Sehingga peristiwa ini menjadi peristiwa yang transparansi untuk melihat dan menyeleksi siapa yang sebenarnya berada bersama Rasulullah.
Dampak religiusnya, menambah keyakinan terhadap kenabian dan kerasulan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat dewasa pada prinsipnya merupakan pembenaran (bukti) dari firman-firman Allah Subhanahu Wata’Ala, baik firman qauliyah maupun qauniyah (kosmos). Dengan kata lain bahwa sumber yang mengilhami kemajuan ilmu dan teknologi adalah wahyu Allah Subhanahu Wata’Ala.
Mungkin kita tak pernah berpikir bahkan bermimpi saat teknologi transportasi kita hanya kuda atau unta. Kemudian manusia bisa sampai ke bulan. Tetapi kenyataannya sekarang saat teknologi sudah sampai pada taraf sputnic dan rocket, dengan pesawat ulang-alik challenger, manusia mampu menjelajah jauh ke planet terjauh. Alquran mendukung positif dalam memotivasi penguasaan Iptek tersebut seperti tertuang dalam surat Ar-Rahman ayat 33 :
Artinya: “Hai sekalian jin dan manusia, andai kata kamu sanggup menembus (menjelajah) melintasi penjuru langit dan bumi, maka tembuslah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan” (Depag RI : 1980 : 887). Maksud ayat ini adalah kemampuan atau penguasaan Ilmu dan Teknologi. (bersambung)
*Penulis : Dr H Munawar MSi – Dosen Senior Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak