Alquran adalah sumber informasi dan sumber kebenaran yang sakral tanpa keraguan. Alquran memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu sifat itu adalah sebagai kitab yang selalu terpelihara, (QS.15:9).
Salah satu berita penting dan penuh misteri adalah tentang peristiwa Isra dan Mikraj Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi Wasallam, lima belas abad silam. Peristiwa ini memiliki arti strategis dalam perjuangan Rasulullah dan perkembangan Islam pada masa-masa berikutnya.
Secara khusus Alquran menegaskan bahwa makna kisah itu harus kita pikirkan dan renungkan, sebagai sumber inspirasi dan motivasi bagi kemajuan umat. “Kisahkanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir” (QS.7:176).
Kisah Isra Mikraj mempunyai makna penting dalam membangun kerangka keimanan umat manusia. Juga membangun kerangka peradaban dan martabat manusia kepada derajat yang lebih tinggi. Banyak ahli yang mengkaji peristiwa ini untu menemukan sisi ilmiahnya dalam kemajuan ilmu dan teknologi.
Isra dan Mikraj sering menjadi tema-tema sentral dari ceramah, diskusi, seminar dan karya tulis. Tujuannya untuk memberikan kesadaran historis kepada pemeluk agama Islam dan yang meyakini sepenuhnya kepada kejadian yang luar biasa itu.
Universitas Al-Azhar Cairo misalnya, pernah menyelenggarakan seminar luar biasa mengenai Isra Mikraj ini dengan menghadirkan para sarjana, ulama dan cendikiawan terkemuka dari seluruh dunia muslim. Berbagai pandangan dan pendapat pun muncul bervariasi dari para ulama maupun ilmuwan.
Walaupun dalil naqly yang digunakan pada dasarnya sama, namun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, baik Ulama Salaf maupun Ulama Khalaf. Namun demikian perbedaan pendapat itu pada persoalan bagaimana terjadinya peristiwa, bukan menyangkal kejadiannya.
Dengan kata lain, apa yang diperdebatkan hanya menyangkut tempat, lamanya perjalanan, waktu terjadinya dan keadaan diri Nabi saat terjadinya peristiwa itu. Silang pendapat hanya soal teknis, bukan hal urgen.
Pokok Persoalan
Isra Mikraj tidak pernah sepi dari kemelut dalam pemahaman yang antara lain menyangkut:
- Tempat start saat melakukan perjalanan itu, apakah kala itu Rasulullah tengah berada di sisi Kakbah atau di rumah sepupunya Ummi Hanni binti Abi Thalib
- Lama perjalanan apakah terjadinya hanya dalam 1 malam ataukah berlainan malam
- Waktu terjadinya peristiwa ada yang menyatakan tanggal 17 Rabiul Awal dan ada juga yang menyatakan 27 Rajab. Apakah sekitar tahun ke 7 – 10 kerasulan atau di tahun sebelum hijrahnya Rasul
- Kondisi Nabi, apakah melakukan perjalanan tersebut dengan lahirnya (fisik), ataukah batinnya (secara psikologi) saja seperti mimpi atau secara utuh (lahir dan batin)
Para intelektual muda Muslim dalam perkembangan terakhir ramai memngupasa mengenai apakah Masjid Al-Aqhsa dalam ayat 1 Surah Al-Isra itu adalah yang berada di Jerussalem ataukah berada di langit (samawat), tanpa diketahui tempatnya?
Bahkan ada pula intelektual kita seperti Nazwar Syamsu dalam bukunya “Logika Tauhid dan Manusia” seperti dikutip Syamsuri Syafiuddin (1986: 9) berkesimpulan bahwa Rasulullah itu transit dari planet satu ke planet lain (Venus-57,7, Mars-227,8, Jupiter-777,6, Saturnus-1425,8, Uranus-2868,8, Neptunus-4495,5 dan terakhir Pluto-5905,0) (Suroto Gunawan : 1983). Dan di Planet terakhir inilah letak Sidratul Muntaha dan bertemu dengan Nabi Adam ‘Alaihissalam.
Begitu pula pendapatnya mengenai Buraq sebagai kendaraan Nabi yang mempunyai kecepatan luar biasa menggunakan tenaga inti nuklir yaitu tacheon, dengan masa perjalanan hanya kurang lebih 9 jam pulang-pergi.
Berbagai persoalan dan pertanyaan itu harus kita jawab dengan telaah kritis, obyektif dan tidak hanya dengan dengan emosi keagamaan. Sehingga memperoleh dasar pandangan lebih jelas dan lebih tepat, secara scientific outlook, maupun secara democratic outlook, terlebih lagi kajian hikmahnya.
Pemahaman Terhadap Dalil
Wahyu yang menjadi dasar Isra dan Mikraj ini adalah surat Al-Isra ayat 1 dan Surat An-Najm ayat 1-18, serta beberapa hadis.
Surat Al-Isra ayat 1
Artinya: Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya, agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Depag RI : 1989 : 424).
Ayat ini dapat kita pahami bahwa Allah Subhanahu Wata’Ala memulai Firman-Nya dengan “subhana” dalam ayat ini, dan di beberapat ayat lain sebagai pertanda bahwa ayat itu mengandung peristiwa luar biasa yang hanya dapat terlaksana karena iradah dan kekuasaan-Nya. (Depag RI :V 1983/1984 : 510).
Selanjutnya Al-ladziy As-raa yang berarti bahwa ada suatu zat, suatu kekuatan yang telah memperjalankan pada waktu malam. Kita dapat memahami bahwa perjalanan itu menjadi sepenuhnya kehendak yang memperjalankan, dalam rencana pelaksaaan dan pengawasannya.
Sedangkan yang diperjalankan itu adalah “Abdihi” atau hamba-Nya yang berarti terdiri dari jasad dan ruh. Karena ‘Abdun’ sebagai objek yang diperjalankan, maka ia memiliki ketergantungan teknis. Berarti, kapan dan bagaimana cara perjalanan tersebut merupakan hak penuh dari yang memperjalankan.
Kata “Laila” tidaklah berarti sekedar memperkuat bahwa perjalanan itu pada malam hari. Namun lebih dari itu. Untuk menunjukkan perjalanan itu secara kondisional telah benar-benar siap dengan waktu dan keadaan yang tepat. Waktu malam di Arab cenderung temperatur lebih rendah dibanding siang hari. Malam hari juga lebih tenang dibanding siang.
Kemudian kata “min-al masjid al-haram” mengandung arti perjalanan itu dimulai dari Masjid Al- Haram di Mekkah Al-Mukarramah. Mengapa harus dari masjid Al-Haram? ini merupakan rahasia dari yang merencanakan ini akan kita kaji dari sudut hikmah dalam bagian lain.
Selanjutnya kata “ila al Masjid al-aqsha” memiliki arti perjalanan itu menuju Masjid Al-aqsha. Suatu Masjid yang Jauh. Dan jika yang dimaksud adalah yang berada di Palestina (Jerusalem), maka inipun dapat berarti Masjid yang jauh. Menurut ukuran bangsa Arab saat itu memerlukan waktu 40 hari perjalanan menggunakan kendaraan unta.
Apabila bermakna masjid yang jauh yang tidak yang tidak diketahui letaknya selain oleh Nabi dan Tuhannya. Maka kata “Al-Ladziy” bermakna “haulahu” yang berarti bahwa Allah telah memberkati dan di sekelilingnya. Memberikan jaminan kondisi aman, tenteram terhadap perjalanan Nabi hingga ke tempat tujuannya dan memperoleh target yang telah direncanakan Allah Subhanahu Wata’Ala.
Tujuan atau target yang Allah rencanakan itu jelas terungkap dalam kalimat “linuriyahu min aayaatina” bahwa perjalanan itu untuk memperlihatkan sebagian tanda-tanda (kebenaran) Allah. Ayat ini kemudian ditutup dengan kalimat “innahu huwa al-sami’ul-bashir” yang artinya bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Kalimat terakhir ini memberikan pemahaman bahwa perjalanan itu sepenuhnya dalam pengawasan Allah sebagai zat yang mempunya rencana ini. Ayat ini memberikan penjelasan tentang Isra secara filosofi dan memerlukan kajian lebih lanjut melalui pendekatan ilmiah. (bersambung)
Penulis : Dr H Munawar MSi – Dosen Senior Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pontianak