Pontianak. Mendekati akhir tahun dan momentum pergantian Kapolda Kalbar, tiba-tiba Polres Kubu Raya mengeluarkan Surat pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) dugaan perzinahan. Surat tersebut tanpa gelar perkara dan penyidik terlampau berani membuat kesimpulan.
“Satu hari setelah kami melayangkan surat yang mempertanyakan hasil penyelidikan atas laporan klien kami, SP2HP itu dikirim ke klien kami,” kata Deni Amirudin SH, MHum, advokat yang mendampingi Tedy, pelapor kasus penggerebekkan oknum BKD Kota Pontianak, Selasa (28/12/2021).
Tedy sebelumnya menggerebek oknum ASN berinisial BW yang membawa istri sahnya di rumah milik BW. Tedy menggerebek bersama beberapa orang, termasuk ketua RT setempat. “Faktanya jelas dan bukti video sudah diserahkan ke penyidik. Bahwa ada seorang laki-laki dan perempuan yang sudah terikat perkawinan yang sah dengan pasangannya masing-masing sedang berada dalam sebuah rumah berduaan, tanpa orang lain,” kata Deni.
Fakta lainnya, lanjut Deni, terlapor laki-laki yakni BW melarikan diri dengan cara melompat pagar belakang hingga masuk parit. Mengapa dia harus lakukan itu. Secara psikologis, hanya orang melanggar hukum yang merasa takut. “Fakta lainnya, terlapor perempuan dikunci dari luar oleh terlapor BW sebelum kabur. Dalam video itu kelihatan BW tidak menggunakan celana dalam yang kemungkinan dalam kondisi panik,” papar Deni.
Deni mengaku tak habis pikir mengapa sampai keluar SP2HP dengan Nomor Surat D/1449/XII/Res.1.24/2021/Reskrim tertanggal 23 desember 2021. Dalam surat itu menyatakan telah memeriksa sebanyak 5 orang saksi antara lain pelapor, dua orang terlapor dan dua orang saksi. Pada bagian lain surat dinyatakan ‘belum terdapat perseusian untuk memperoleh fakta peristiwa pidana yang terjadi’
“Bagaimana mungkin diterbitkan SP2HP, sedangkan gelar perkara saja belum dilaksanakan. Surat itu tidak didasari pemeriksaan komprehensif seperti membuka alat bukti dan bukti petunjuk yakni digital video CCTV dari tempat kejadian perkara,” kata Deni.
Dalam KUHAP, papar dia, penyidik polisi melakukan penyelidikan setelah menghimpun pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket) dilanjutkan dengan gelar perkara untuk menguji dari perkara yang sudah diselediki apakah ada unsur pidana, dan apakah alat buktinya cukup. “Pelapor sama sekali tidak dilibatkan, bahkan ini delik aduan. Dalam surat itu juga tidak mencantumkan dasar rujukan gelar perkara. Hanya hasil klarifikasi dua saksi, terlapor dan pelapor,” kata Deni.
Deni mengutip Pasal 15 Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Gelar perkara adalah bagian dari proses dan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Secara formal, gelar perkara dilakukan oleh penyidik dengan menghadirkan pihak pelapor dan terlapor. Jika tidak menghadirkan pelapor dan terlapor maka gelar perkara yang dilakukan, dapat cacat hukum.
“Yang terjadi, pelapor tidak dihadirkan dan gelar perkara tidak dilakukan. Kami berkeyakinan surat itu cacat hukum. SP2HP menjadi dasar kami untuk menyurat Kapolri, Kapolda dan instansi terkait seperti Kompolnas, Irwasum, Ombudsman, Komnas HAM,” kata Deni yang dalam waktu dekat ini akan segera mengirim surat khusus.
Ia menganggap proses pelaporan tidak menerapkan due process of law, bahwa penyelidikan harus dilakukan sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, penyidik harus jujur dan bersikap adil. “Oleh sebab itu kami menduga Polres Kubu Raya tidak serius. Semoga saja tidak ada upaya untuk mengaburkan kasus. Ditambah lagi momennya ketika pergantian kapolda,” paparnya.
Kepada Kapolda yang baru, Deni mengharapkan agar mampu memberikan kepercayaan kepada publik dalam hal penegakkan hukum di Kalbar. “Kami dukung kapolda untuk melakukan supervisi. Bila perlu mohon diambilalih jika ditemukan proses hukum yang mencurigakan,” tutup Deni. (tim pontianak-times)