Sambas. Budaya yang sangat kental bagi masyarakat Kabupaten Sambas, salah satunya adalah Makan Saprahan. Banyak makna mendalam terkandung dari budaya tersebut.
Budayawan Kabupaten Sambas, Mustafa Munzir menjelaskan makna mendalam pada makan saprahan itu antara lain dilakukan saling berhadapan berjumlah enam orang dalam setiap kelompok saprah.
Hal ini, kata Mustafa, bermakna rukun iman ada enam. Sedangkan makan menggunakan jari tangan kanan ada lima, bermakna rukun islam ada lima.
Saprahan, kata Mustafa, diletakkan di atas tikar. Artinya tidak membeda-bedakan kedudukan atau pangkat dan jabatan seseorang. Cara adab duduk menghadap saprahan dengan bentuk melingkar, artinya bentuk musyawarah dan saling kenal mengenal satu dengan yang lain.
Air cuci tangan yang disajikan dalam ketel, artinya sebelum kita melakukan makan, harus mencuci tangan, dan ini melambangkan rukun islam adalah berwudhu untuk salat.
“Nasi yang disajikan dalam baskom berwarna putih melambangkan suci dan bersih. Dalam makan saprahan juga memiliki filosofi ketauhidan dengan tersedianya satu buah sendok nasi,” ujar Mustafa yang juga Ketua Bidang Pelestarian Budaya MABM Kabupaten Sambas ini.
Cara mengambil nasi, kata Mustafa, karena sendoknya hanya satu, maka menuntut kesabaran. Hal ini dikaitkan dengan ibarat berpuasa yang harus sabar untuk menunggu saatnya berbuka puasa.
Sedangkan lauk pauk yang tersaji dalam baki terdiri dari enam macam. Pertama, ayam yang dimasak putih. Kedua, daging sapi masak rendang atau masak merah. Ketiga, ayam dimasak semur kecap. Keempat gulai sop. Kelima sambal kentang dan keenam acar nanas dan acar mentimun.
“Itu bermakna rukun iman ada enam. Sendok untuk lauk pauk ada dua buah berarti dua kalimah syahadat. Serbet setelah selesai makan, harus mencuci tangan dengan air yang sudah disiapkan, artinya kita harus melakukan pola hidup bersih dan sehat,” papar Mustafa.
Air Minum
Khusus air minum, jelasnya, bisa air sepang, mineral atau air susu. “Artinya, agar makanan yang kita masukan ke dalam perut menjadi lancar dan sempurna,” katanya.
Demikian pula ketersediaan buah-buahan dalam saprahan bermakna agar dapat membantu proses pencernaan dengan baik dan sempurna.
Saprahan telah tercatat sebagai Warisan Budaya Takbenda sejak Tahun 2019 dengan Nomor Registrasi 201901036 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saprahan berasal dari kata saprah berarti berhampar. Saprahan adalah budaya makan bersama dengan cara duduk lesehan atau bersila di atas lantai secara berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari enam orang.
Dalam budaya saprahan ini terdapat aktivitas Besurong atau besurung yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keterampilan dalam menghidangkan makanan saparahan. Tradisi besurong ini diperlomabakn dalam ajang Besurong, Rabu (21/12/2022) di Balairung Sari Bupati Sambas.
Menurut Mustafa Munzir, petugas besurong membawa barang yang disajikan, seperti air cuci tangan, nasi, lauk pauk dalam piring sebanyak enam buah, air minum, buah-buahan atau kue.
Penulis: Hendra Firmansyah I Editor: R. Rido Ibnu Syahrie