Mempawah. Usulan ganti nama untuk Terminal Kijing Pelabuhan Pontianak terus berproses. Selain nama Tanjungpura, juga muncul nama lain yakni I Fatimah Daeng Takontu.
“Soal nama pelabuhan dapat dibuka ruang diskusinya disertai alasan-alasannya. Kami mengusulkan Pelabuhan Internasional I Fatimah Daeng Takontu,” kata Hermawansyah, salah seorang Zuriat I Fatimah didampingi Musmulyadi, Rabu (10/8/2022).
Menurut Hermawansyah, penamaan itu berlatarbelakang sejarah Kerajaan Mempawah. Makam beliau sudah menjadi cagar budaya di Pulau Temajo Mempawah.
Nama I Fatimah, kata pemilik sapaan Wawan ini, sekaligus akan memperkuat silaturrahim irisan sejarah kebudayaan Kerajaan Mempawah Opu Daeng Manambon dengan Kerajaan Gowa. “I Fatimah merupakan putri Sultan Hasanudin. Hingga akhir hayatnya berlabuh di Kerajaan Mempawah dan membantu Opu yang berasal dari Luwu,” ujarnya.
Secara runut, Wawan mengisahkan jejak I Fatimah yang gigih melawan penindasan VOC Belanda. Ia adalah putri Raja Gowa ke-16, I Mallombassi Daeng Mattawang Sultan Hasanuddin. I Fatimah adalah bangsawan kerajaan yang tidak mau menyerah pada Belanda.
Perang Makassar terjadi ketika I Fatimah berusia 7 tahun. Walaupun kenyataannya Sultan Hasanuddin telah menandatangani Perjanjian Bongaya pada 18 November 1667 sebagai pertanda menyerah, namun perlawanan tak pernah padam. Bangsawan lainnya yang berjuang adalah Karaeng Karungrung, Karaeng Galesong putra Hasanuddin sendiri, Karaeng Bonto Marannu, Daeng Mangalle, dan Syekh Yusuf Tajul Khalwati.
Kegigihan Sultan Hasanuddin ini membuatnya mendapat panggilan “Ayam Jantan dari Timur”. Maka I Fatimah Daengta Kontu oleh penulis Eropa diberi gelar ‘Garuda Betina dari Timur’. Perempuan yang lahir 10 September 1659 itu sejak kecil selalu ikut mendampingi ayahnya menyaksikan latihan prajurit kerajaan Gowa.
I Fatimah memperoleh gelar Karaeng Campagayya karena kegigihannya menentang penjajahan Belanda di Makassar. Ia senantiasa mendampingi Sultan Hasanuddin dalam setiap peperangan melawan Belanda. Sebelum akhirnya kemudian Sultan dipaksa membuat perjanjian damai dengan Belanda. Ia kemudian memimpin pasukan Srikandi bernama “Pasukan Balira”, walaupun masih sangat muda.
Pasca ayahnya mangkat pada 1671, ia bersama keluarganya yang tak sepakat dengan Perjanjian Bungaya melakukan perlawanan terhadap penjajah di Tanah Jawa. I Fatimah hijrah ke Banten bersama Laskar Bainea (Laskar Perempuan), unit khusus yang langsung berada di bawah komando I Fatimah. Seluruh prajuritnya merupakan kaum perempuan.
Unit ini memiliki alat tempur khas, yakni Balira, kayu panjang yang digunakan sebagai alat pemberat dan merapikan tenunan. Di Kalimantan Barat dan beberapa daerah lain, Balira dikenal dengan nama Belidak. Meski tak mematikan, senjata ini mampu membuat ciut nyali para penjajah.
Di Banten, bersama dengan Sultan Ageng Tirtayasa dan Syaikh Yusuf Al-Makassari, I Fatimah menghadapi penjajah Belanda yang mendapatkan dukungan dari sejumlah antek-antek Belanda. Perjuangan ini berakhir dengan kekalahan di pihak Sultan Ageng karena politik adu domba Belanda.
Unit Tempur Mempawah
Pada Perang Banten, sejumlah tokoh perjuangan menjadi martir. Sebagian ditangkap lantas diasingkan seperti Sultan Ageng dan Syaikh Yusuf. Sementara I Fatimah selamat dan kembali mengarungi samudera mencari wilayah juang lain. I Fatimah melakukan perjalanan ke Kerajaan Mempawah.
Di Mempawah, I Fatimah dipercaya membentuk unit tempur dan bertanggungjawab menjaga wilayah perairan Mempawah. Ia juga mendirikan perguruan beladiri di kerajaan ini, sebagai bentuk persiapan menghadapi kemungkinan ancaman yang datang, sekaligus menanamkan keberanian dalam benak rakyat Kerajaan Mempawah.
I Fatimah bertugas menjaga wilayah perairan, maka suaminya bernama Syech Abdul Gani Al-Makassari atau Daeng Talibe menjaga teritori darat Kerajaan Mempawah di Sungai Bakau Kecil. Sepasang sejoli ini menjadi benteng pertama bila terjadi serangan musuh atas kerajaan yang dipimpin oleh Oppu Daeng Menambon.
Pulau Temajo Kabupaten Mempawah, tepatnya di Tanjung Mattoa, menjadi tempat peristirahatan terakhir I Fatimah. Garuda Betina Dari Timur itu harus berhenti mengepakkan sayapnya. Garuda itu sudah terbang tinggi dan mencatatkan namanya sebagai salah satu pilar perjuangan menegakkan keadilan. Jasanya terlampau besar, demikian pula warisannya begitu berharga yakni, spirit kemerdekaan. (rdo)