Pontianak. Aksi GCS (Global Climate Strike) 2024 mengajukan lima tuntutan. Sebanyak dua tuntutan diantaranya meminta penghentian proyek PLTU dan PLTN di Kalbar.
Aksi GCS 2024 diprakarsai sejumlah lembaga yang turun langsung dalam aksi dengan balutan kritik “Parade Oligarki” itu, Minggu (22/09/2024) di sepanjang Jalan Ahmad Yani, Pontianak, Kalimantan Barat.
Peserta melakukan parade dengan berjalan kaki membawa spanduk “Bergerak Bersama Melawan Darurat Iklim dan Darurat Demokrasi”. Terlihat sejumlah peserta aksi mengacungkan spanduk kritik bertuliskan ‘save nature for people and planet’ dan poster bertuliskan kritik lainnya.
Lembaga gerakan yang turun langsung ke jalan adalah adalah Extinction Rebellion (XR) Pontianak, Tim Cegah Api (TCA) Greenpeace, Kader Hijau Muhammadiyah (KHM) Kalimantan Barat, Pejuang Pelestarian Alam, dan para aktivis.
Alunan bunyi marching band dan atraksi barongsai turut menyemangati para peserta, sekaligus menghibur masyarakat yang sedang melintasi di bilangan pusat Kota Pontianak tersebut.
Lima tuntutan yang diserukan para peserta aksi antara lain, mengakui dan menghormati penuh hak-hak masyarakat marjinal. Tuntutan kedua, tegakkan demokrasi dalam tata kelola pemerintahan khususnya di sektor lingkungan hidup.
Tuntutan ketiga, pensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang ada di Kalimantan Barat. Tuntutan keempat; hentikan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kalimantan Barat dan kelima, hentikan pembakaran hutan dan lahan.
Ruang Hidup
Salahsatu peserta aksi GCS 2024, Ageng menyampaikan daftar panjang penghancuran ruang hidup yang sudah mulai sejak lama. Ekspansi perkebunan dalam kendali korporasi besar, pembabatan hutan dan pencemaran sungai misalnya, diperankan oleh perusahan besar, pembakaran hutan dan lahan.
“Yang paling baru adalah wacana Pembangunan PLTN yang akan dibangun di Bengkayang, Kalimantan Barat, dan masih banyak daftar masalah lingkungan lainnya,” kata Ageng.
Dijelaskan Ageng, saat ini telah terjadi letupan publik akibat wacana revisi undang-undang pemilihan kepala daerah, serta menunjukkan demokrasi di Indonesia juga sedang berada di ujung tanduk.
“Hal ini memberikan energi baru sekaligus menyapa realita kembali akumulasi dari kemarahan ini mesti terorganisir. Kita bisa bersama-sama menyaksikan deretan penghancuran dari seluruh sektor lingkungan yang ada,” ujar Ageng.
Menurutnya, situasi negara yang menyedihkan ini tergambar dari pengahancuran masyarakat adat hingga perampokan ruang hidup. “Siapa yang melawan, siapa yang membangkang, siapa yang mengganggu proyek elite akan tumpas ditangan penguasa,” kata Ageng.(iz)
Update Berita, ikuti Google News