MUDIK hari raya Idulfitri adalah fenomena menarik dan sudah membudaya dalam masyarakat Indonesia. Jika tidak mudik, rasanya lebaran kurang bermakna.
Persiapan mudik sudah jauh jauh hari dipersiapkan oleh calon pemudik, walaupun ekonomi pas-pasan. Mengapa kita harus mudik alias pulang kampung? Beragam alasannya. Selain karena ingin bertemu orang tua, sanak keluarga, juga rindu dengan kampung halaman.
Tujuan pokok balik kampung adalah untuk merayakan lebaran, yakni saling berkunjung kepada keluarga, sahabat dan kawan lama. Kunjungan ini dimaksudkan untuk mempererat tali silaturahim sembari memohon maaf atas segala khilaf dan salah.
Lebaran menjadi momentum saling bermaafan satu dengan yang lain. Tidak jarang kesempatan sakral ini digunakan untuk saling melepas rindu dengan sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Dengan demikian Idul Fitri seperti sumber air yang dapat menghilangkan rasa dahaga. Suasana merayakan hari kemenangan Idulfitri 1444 H terasa mewarnai kehidupan masyarakat Islam di seluruh pelosok tanah air.
Mudik punya arti tersendiri dan merupakan bagian tak terpisahkan dari setiap datangnya hari raya Idulfitri 1 Syawal. Tradisi merayakan idulfitri bagi masyarakat Indonesia lebih sering disebut dengan kata Lebaran.
Lebaran atau berkunjung bersilaturahmi sering juga disebut halal bi halal. Kedua istilah diadopsi dari kata Halala. Istilah tersebut merupakan hasil ijtihad yang cukup kreatif bagi upaya mengembangkan nilai-nilai ajaran Islam di tengah tengah masyarakat Islam.
Halal bi Halal
Halal bi Halal hanya dikenal dan populer pada masyarakat muslim Indonesia. Hampir semua instansi/kantor dan lembaga pemerintah maupun swasta baik di kota maupun di desa menyelenggarakan Halal bi Halal.
Halal bi halal bermakna acara maaf memaafkan pada hari lebaran. Dalam konteks Halal bi Halal lebih dipahami sebagai saling menghalalkan yang haram atau saling menghilangkan, menghapus dan memaafkan segala kesalahan. Kata halal berpadanan dengan kata haram. Halal adalah suatu istilah yang dekat (identik) dengan aktivitas kebaikan (kemaslahatan).
Sementara kata haram sangat identik dengan perbuatan yang buruk dan dilarang (kemungkaran). Jadi, semua perbuatan yang didasari oleh niat baik akan berpotensi dan berbuah halal. Sedangkan semua aktivitas yang didasari oleh niat jahat (buruk) akan berpeluang mendatangkan kemudaratan dan berbuah haram.
Saling memaafkan sesama, khususnya dalam acara Halal bi Halal meski melalui media online, tetap mengandung kebaikan yang tak terhingga. Satu diantara kebaikan itu adalah bahwa halal bi halal mampu mempererat tali persaudaraan yang pernah renggang.
Bahkan momentum halal bi halal ini sebagai sarana tobat dari dosa terhadap manusia. Sebab Allah Swt tidak menerima tobat hamba-Nya karena bersalah kepada sesamanya, sampai ia meminta maaf (tobat) kepada orang yang pernah disakitinya.
Pengampunan
Terdapat beberapa istilah yang digunakan Alquran untuk menyebutkan pengampunan (pembebasan dosa) dan upaya menjalin hubungan serasi antara manusia dengan Tuhannya. Seperti kata toba (tobat), ‘afa (memaafkan) ghafara (mengampuni), kaffara (menutupi) dan saffah (lapang dada).
Dari sebutan istilah tersebut di atas, kata ‘afa (memaafkan) memiliki keterkaitan erat dengan kata halal bi halal. Baik silaturahmi maupun halal bi halal, menuntut adanya upaya saling memaafkan.
Apabila kita merujuk kepada Alquran surat Ali Imran ayat 134 akan ditemukan bahwa seorang muslim yang bertaqwa dianjurkan untuk memilih satu di antara tiga sikap seseorang yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya, yaitu menahan amarah, memaafkan dan berbbuat baik kepadanya.
Dari ayat di atas juga ditersirat pesan moral bahwa Halal bi halal bukan saja menuntut seseorang agar saling memaafkan orang lain, akan tetapi harus diimbangi pula dengan perbuatan baik terhadap siapa pun.
Inilah landasan filosofis bagi setiap aktivitas manusia yang merayakan idul fitri (lebaran). Karena hakekat beragama itu adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya, menghormati orang lain, memiliki solidaritas sosial terhadap kaum tertindas, kasih sayang sosial.
Karena itu orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial yang tinggi. Bukan orang–orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya ada orang orang miskin meronta kelaparan.
Penulis: Dr H Munawar M Sa’ad MSi (Dosen Senior IAIN Pontianak)
Update Berita, Follow Google News