Pontianak. Pilkada serentak 2024 melawan kotak kosong menjadi bukti monopoli elektoral. Dampaknya buruk bagi demokrasi untuk kualitas kepemimpinan.
Demikian hasil diskusi pontianak times bersama Pengamat Politik Ireng Maulana, Senin (22/7/2024) mencermati potensi Pilkada dua kabupaten se-Kalbar yang pasangan calonnya melawan kotak kosong.
Pilkada dua kabupaten yang melawan kotak kosong itu adalah Pilkada Melawi dan Bengkayang. Kontestan yang akan melawan kotak kosong itu dari kalangan petahana atau incumbent. Konsekuensi pasangan yang melawan kotak kosong harus melampaui kemenangan elektoral 50% plus 1.
Untuk Kabupaten Melawi terdapat pasangan Dadi Sunarya Usfa Yursa yang memilih pasangan barunya sebagai bakal calon wakil yakni, Malin. Dadi pecah kongsi dengan wakilnya saat ini, Kluisen.
Dadi yang pada Pemilu Legisatif berhasil menggolkan PAN di DPRD Melawi hingga 11 kursi, memiliki cukup modal politik untuk lolos dukungan minimal 20% dari 30 total kursi di DPRD Melawi.
Dadi bersama Malin juga telah mengemas PDIP (5 kursi), Golkar (4 kursi), PKB (1 kursi), PPP (2 kursi), dan PKS (2 kursi). Tersisa 4 kursi milik Nasdem (3) dan Gerindra (2) yang bakal tersandung untuk berkoalisi. Kecuali Nasdem mampu menarik salah satu parpol, PPP atau PKS.
Hal serupa juga bakal terjadi di Pilkada Bengkayang. Pasangan petahana Sebastianus Darwis dan Syamsurizal masih mesra berpasangan tanpa harus pecah kongsi. Hampir seluruh Parpol di kabupaten ini juga merapat kepada pasangan petahana.
Dampak Buruk
Pengamat Politik Ireng Maulana menila fenomena Pilkada melawan kotak kosong ini memiliki jaminan legalitas. Hanya saja, dari sisi demokrasi memang berdampak buruk untuk regenerasi kepemimpinan dan preferensi bagi pemilih.
“Kalau hanya diberikan pada satu pilihan, maka masyarakat tak memiliki preferens lain dan tak bisa menimbang kualitas kepemimpinan. Padahal demokrasi itu mengharuskan adanya pilhan kepada masyarakat,” kata Ireng.
Ireng yang juga Alumnus IOWA Amerika ini menjelaskan pasangan calon kadidat yang melawan kotak kosong biasanya berasal dari petahana. Figur tersebut memiliki akses permodalan yang kuat dan akses besar ke Parpol.
“Kondisi ini sama halnya dengan monopoli elektoral dan meniadakan pilihan masyarakat. Sedangkan Pilkada itu untuk regenerasi kepemimpinan agar masyarakat mempunyai harapan penyelesaian masa depan, bukan masa lalu,” ujar Ireng.
Ireng menjelaskan tidak ada salahnya pasangan calon Pilkada melawan kotak kosong. Tetapi lebih baik apabila lebih dari satu pasang calon dari sisi kemanfaatan demokrasi.
Ruang Parpol
Pemasangan calon dalam Pilkada, sepenuhnya menjadi otoritas Partai Politik selai jalur independen. Parpol menjadi instrumen utama dalam Pilkada yang menjadi pintu pertama untuk memastikan siapa yang akan memimpin.
“Proses rekrutmen pertama berawal dari Parpol. Seharusnya Parpol menyeimbangkan ruang pragmatisme dan ruang tanggung jawab untuk melahirkan pemimpin masa depan berkualitas,” ujar Ireng.
Secara teknis, kata Ireng, ok saja, tetapi fenmena pasangan calon melawan kotak kosong adalah problem bagi daerah dalam hal elektoral. Bukannya calon pemimpin dan calon penantang itu tidak ada.
“Memang dibuat sedemikan rupa sehingga pasangan calon lain tak memiliki akses modal untuk mendekati parpol. Akibatnya, peluang orang lain untuk menjadi pilihan baru masyarakat menjadi dikecilkan,” ujarnya.
Penulis: R. Rido Ibnu Syahrie I Update Berita, ikuti Google News