Pontianak. Tokoh masyarakat Kalimantan Barat yang juga Duta Besar Azerbaijan H. Hildi Hamid akan tampil mengisi Diskusi dalam Halal Bihalal, Rabu (25/5/2022) di Rumah Gerakan Perkumpulan Gemawan Jalan Ujung Pandang 1 Nomor 89 Pontianak.
Kegiatan yang dikemas dalam Bincang Untuk Masyarakat Indonesia (BUMI) ini juga akan menghadirkan narasumber lainnya yakni Kandidat Doktor sekaligus Peneliti M. Riza Fahmi, dan Direktur Gemawan Laili Khairnur.
Founder Gemawan, Hermawansyah kepada pontianak-times.co.id, Selasa (24/5/2022) menjelaskan tujuan kegiatan antara lain untuk berbagi pengetahuan mengenai multikulturalisme dan inklusivisme di Azerbaijan. Selain itu, mengidentifikasi kesamaan sosial-kultural antara Indonesia dan Azerbaijan. Menjajaki peluang membangun relasi sosial yang inklusif berbasis multikulturalisme di Kalimantan Barat.
Dalam kerangka acuan kegiatan, peserta yang diundang meliputi pimpinan Ormas dan OKP, para pegiat gerakan sosial di Kalimantan Barat, NGO, Media dan lainnya. “Kita lihat nanti peserta yang hadir disesuaikan dengan kapasitas hall rumah gerakan Gemawan. Acaranya mulai pukul 12.00 hingga 15.30 diawali dengan makan siang bersama,” ujar Wawan, sapaan akrab Hermawansyah.
Tentang Gemawan
Perkumpulan Gemawan berdiri sejak tahun 1999 di Kalimantan Barat dengan tujuan utama untuk memperkuat masyarakat lokal dan mendorong perubahan kebijakan dalam mencapai keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Tujuan itu kristalisasi dalam visi Mewujudkan Masyarakat Sipil yang Berdaulat dan Bermartabat: “Kuat secara Politik dan Mandiri secara Ekonomi berbasis Kearifan Lokal, Keadilan Gender, dan Keadilan Ekologis”. Visi tersebut diimplementasikan melalui 4 metode pendekatan: pertama, pengorganisasian; kedua, advokasi; ketiga, kampanye; serta keempat, riset dan pengelolaan pengetahuan.
Hildi dan Azerbaijan
H. Hildi Hamid bukanlah nama yang asing bagi masyarakat Kalimantan Barat. Pria kelahiran Ketapang, 19 Agustus 1954 ini merupakan Bupati Kayong Utara pada tahun 2008 hingga 2013. Dua periode kepemimpinannya melahirkan capaian-capaian baru bagi Kayong Utara, khususnya di bidang pendidikan, seperti program pendidikan gratis 12 tahun hingga beasiswa ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Hal lain yang dilakukan di masa kepemimpinannya adalah melakukan reformasi birokrasi di Kayong Utara. Sebagai kabupaten baru, tentu diperlukan pondasi peradaban yang kokoh bagi Kayong Utara.
Pasca berkhidmat di Kayong Utara, melalui Keputusan Presiden Nomor 91/Tahun 2020 dan Nomor 92/P dan 93/P Tahun 2020, H. Hildi Hamid diamanahkan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Republik Azerbaijan. Amanah ini merupakan tantangan baru bagi pria yang kini juga masih mengemban tugas sebagai Ketua PW Nahdlatul Ulama Kalimantan Barat.
Selama 2 tahun di Azerbaijan, banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang dicerapnya. Republik Azerbaijan merupakan negara di kawasan Kaukasus, tepat di persimpangan Eropa dan Asia Barat. Dari sisi geopolitik, Azerbaijan sangat unik. Wilayahnya yang memiliki luas 86.600 km² terletak di Benua Asia dan Eropa secara bersamaan, berbatasan dengan Rusia, Georgia, Armenia, Iran, dan Turki. Di sinilah H. Hildi Hamid merajut kerjasama global untuk mendukung agenda luar negeri Republik Indonesia.
Multikulturalisme Azerbaijan
Banyak komunitas dengan beragam kebudayaan mendiami kawasan yang kini dipimpin oleh Ilham Aliyev, seperti Azeri atau Azerbaijan, Lezgian, Armenia, Russia, Avar, Turki, Ukraina, Georgia, Yahudi, Kurdi, dan lainnya. Etnis mayoritas adalah Azeri Turki sebanyak 90,6%, etnik Dagesti 2,2%, etnik Rusia 1,8%, dan etnis lain 3,9%. Kebutuhan ekonomi Azerbaijan disokong dari sektor minyak dan gas alam. Kualitas minyak Azerbaijan diakui dunia sebagai yang terbaik.
Azerbaijan dikenal sebagai Negara Api karena memiliki api abadi yang disebut penduduk setempat dengan Yanar Dag. Berdasarkan sensus 2014, 99,2% dari total 9.494.600 jiwa penduduk di Negeri Api ini beragama Islam. 85% populasi beragama Islam itu merupakan penganut Muslim Syiah, menjadikan Azerbaijan sebagai negara dengan populasi Muslim Syiah terbesar kedua setelah Iran. Agama lain yang dianut di Azerbaijan adalah Kristen, Yahudi dan aliran kepercayaan, seperti Zoroastrianisme. Seluruh etnis dan agama yang beragam itu hidup saling berdampingan.
Meskipun mayoritas beragama Islam, Azerbaijan adalah negara sekuler yang berhasil membangun relasi kuat di antara semua komunitas agama dan keyakinan. Ketika Indonesia dan berbagai belahan dunia mengalami masalah intoleransi dan konflik agama, etnis, dan ras, Azerbaijan justru menunjukan bahwa semua warganya bisa hidup berdampingan dengan tenang dan aman di tengah banyaknya perbedaan.
Karena itulah negara ini mendapat julukan sebagai tanah toleransi (The Land of Tolerance), wadah sebuah komunitas masyarakat yang di dalamnya setiap orang saling menghargai dan menghormati sesama manusia tanpa melihat identitas primordial mereka. Penghargaan dan penghormatan itu berada di bawah payung multikulturalisme, yang menjamin keadilan bagi setiap warganya.
Multikulturalisme merupakan sebuah model alternatif dalam membangun negara dan mengelola kemajemukan masyarakat yang menekankan pentingnya memelihara pluralisme budaya dan mempertahankan warisan budaya, termasuk agama.
Sejak muncul pertama kali pada 1960-an, sejarah multikulturalisme bukan lagi hanya sebatas toleransi, tetapi meningkat pada dimensi keadilan sosial seluruh masyarakat tanpa mempedulikan latar belakang ras, budaya, etnis, dan agama. Multikulturalisme Azerbaijan dan Pancasila: Bersenyawa Merawat Jagad dan Membangun Peradaban.
Dari sisi sosial ini, konstruksi relasi inklusif di Azerbaijan (bisa jadi?) mampu sebagai laboratorium sosial bagi negara-negara lain sebagai rujukan membangun dunia yang damai dan satu.
Pengalaman konflik berporos identitas di Kalimantan Barat pada beberapa tahun ke belakang laik menjadi bahan renungan bagi kita untuk secara rendah hati bercermin pada wilayah lain yang berhasil menjaga situasi sosial mereka kondusif dan damai. Toh, tahun 2022 ini dicanangkan Pemerintah Indonesia sebagai Tahun Toleransi 2022, sebagai upaya pemerintah untuk menjahit kembali jalinan sosial yang sempat tergores kegaduhan politik di masa lalu.
Keragaman suku, agama, keyakinan, dan budaya di Kalimantan Barat masih berpeluang untuk semakin direkatkan guna mencegah retakan-retakan lama muncul kembali. Apatah lagi menjelang momentum politik, ketika percikan-percikan konflik bernada identitas kerap dipaksa ke permukaan, multikulturalisme dapat menjadi udara segar di tengah panasnya atmosfer politik yang akan datang.
Karena itulah, multikulturalisme menjadi potensi membangun perdamaian dan demokrasi baru di Kalimantan Barat, bersenyawa dengan ideologi bangsa ini: Pancasila. (Sumber: TOR Diskusi dan Halal Bihalal Gemawan 2022)