Pontianak. Kasus investasi bodong WPONE yang menelan banyak korban di Kabupaten Landak telah ditindaklanjuti. Pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) minta warga mengenali ciri-ciri investasi bodong.
“Terkait kasus WPONE di Landak, kami sudah panggil. Sekarang sedang proses di Polda dan telah memanggil leadr WPONE di Kalbar,” kata Rochma Hidayati, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Kalbar dalam Diseminasi dan Seminar Percepatan Inklusi Keuangan garapan The Asia Foundation dan DBS, Rabu (15/4/2025).
Rochma meminta masyarakat agar berhati-hati terhadap investasi bodong yang merangsek cepat di era teknologi informasi saat ini. Dengan kemajuan teknologi, apa yang diterima di Jakarta, maka dalam hitungan detik juga diterima di daerah kita.
“Inklusinya bagus diterima melalui smartphone, tetapi literasinya belum. Bisa saja akibat malas membaca atau terlalu percaya dengan tokoh-tokoh yang mengampanyekan investasi itu. Bahkan tokohnya juga terkadang tidak tahu,” kata Rochma.
Dari kasus WPONE yang korban-korbannya menyetor mulai Rp500 ribu hingga Rp100 juta lebih, terjebak iming-iming karena ditawarkan keuntungan 2% perhari. “Dari tawaran keuntungan itu saja sudah tidak logis, dan itu salah satu ciri investasi bodong,” papar Rochma.
Lima Ciri
Rochma menjelaskan lima ciri investasi bodong. Pertama, legalitas yang dapat dicek di web OJK. Apabila tidak terdaftar di OJK maka ilegal. Kedua, logis atau wajar dalam hal pengembaliannya.
“Kalau WPONE, satu hari 2 persen, sangat tidak logis. Kalau bicara usaha, apa yang bisa meningkatkan 2 persen dalam perhari,” kata Rochma.
Ciri yang ketiga, kata Rochma, biasanya investasi bodong itu menerapkan member get member atau Multi Level Marketing (MLM). Kalau investasi yang legal atau beli surat berharga, tidak pernah diminta downline. “Yang mencari justeru dari pihak lembaga investasinya,” kata dia.
Ciri keempat investasi bodong adalah selalu menggaungkan tidak ada resiko. Padahal investasi apapun memiliki resiko. Biasa ada high risk high return, law risk law return. Kalau resikoanya tinggi maka penghasilannya tinggi, kalau resikonya rendah dapatnya rendah.
“Tetapi investasi bodong justeru terbalik, tidak ada resiko tapi ada penghasilan. Di lembaga keuangan formal, ada deposito yang law risk tapi returnnya cenderung kecil. Di investasi bodong malah law risk high return, itu tak logis,” kata Rochma.
Rochma melanjutkan ciri kelima investasi bodong adalah kebiasaan menggunakan influencer dari tokoh-tokoh berpengaruh seperti tokoh agama, tokoh kesukuan atau artis, orang terkenal atau panutan.
“Korban ikut investasi bodong karena tokoh atau panutannya ikut. Padahal bisa jadi tokoh yang bersangkutan itu tidak tahu dan hanya dimanfaatkan pihak lembaga investasi bodong,” tegas Rochma yang juga Ketua Satgas PASTI (Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal) Provinsi Kalbar.
Penulis: R. Rido Ibnu Syahrie I Update Berita, ikuti Google News