Pontianak. Pasmata (Pasar Malam Tanjungpura), sebuah komunitas pedagang di Kota Pontianak segera mengubah gelapnya malam di Pasar Jalan Tanjungpura menjadi pusat kuliner.
Bahri, inisiator sekaligus Ketua Pasmata kepada pontianak times, Sabtu (18/10/2025) menjelaskan konsep awal untuk menghidupkan kondisi pasar agar menjadi pusat jajanan atau kulner alternatif. Pasmata mengutamakan para pedagang kuliner yang menjual aneka makanan tradisional khas masing-masing etnis.
Harapannya, kata Bahri, dapat mengakomodir semua etnis dengan menampilkan jajanan halal. Operasional Pasmata mulai pukul 17.30 WIB hingga 23.00 WIB, setelah para pedagang reguler siang hari berakhir.
“Para pedagang Pasmata dalam setiap malamnya diwajibkan untuk mengemasi gerobak atau lapaknya dan menyimpan di tempat tertentu agar tak mengganggu para pedagang yang beroperasi di siang hari. Sekaligus untuk menciptakan keindahan dan kebersihan kota,” ujar Bahri.
Rencananya, Pasmata akan launching 23 Oktober 2025. Namun tergantung jumlah pedagang yang siap dan ditargetkan paling lambat akhir Oktober 2025, sudah beroperasi. “Kami masih akan menggelar rapat pemantapan bersama berbagai pihak,” ujar Bahri.
Hingga saat ini, sudah 30 para pedagang yang telah siap untuk bergabung di Pasmata, di luar segmentasi pedagang yang mewakili kalangan etnik.
“Kami menyiapkan slot untuk 50 lapak. Namun bisa saja bertambah karena sudah ada permintaan dari pedagang lain, termasuk instansi. Ke depan memungkinkan untuk jualan selain kuliner dan mengakomodir kalangan pedagang dari kalangan umum,” ujar Bahri.
Terimakasih
Bahri mengucapakan terimakasih kepada ibu-ibu UMKM yang tergabung dalam IPMI yang diketuai ibu Nurhayati. Ucapan terimakasih juga kepada pihak Pemkot Pontianak dan Dinas Kumindag Pontianak.
“Semua bersinergi. Pemkot menyiapkan tempat dan kami yang mengakoordinir pedagang,” ujar Bahri seraya menegaskan setiap lapak tidak diperjualbelikan. Hanya saja para pedagang yang menyiapkan sarana untuk berjualan.
Jika sudah berjalan, kata Bahri, Pasmata memiliki nilai tambah sebagai ruang dialog multietnis. “Misalnya saja sebulan sekali digelar pertemuan. Tak terkecuali membahas kerukunan etnis dan jika ada masalah dapat diselesaikan sambil menikmati kuliner,” tutup Bahri.
Penulis: R. Rido Ibnu Syahrie I Update Berita, ikuti Google News


















