Pontianak. Pemerintah belum sepenuhnya mengakomodir desakan menghapus hukuman mati dalam sistem peradilan. Hukuman mati dalam KUHP baru, bukanlah pidana pokok.
Meski tidak menghapus total, namun dalam RUU KUHP yang disahkan DPR RI menjadi UU, Selasa (6/12/2022), tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok.
“Pidana mati merupakan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan sepuluh tahun,” kata Menkumham Yasonna H Laoly.
Berarti, vonis hukuman mati masih bisa diubah menjadi pidana penjara seumur hidup melalui Keputusan Presiden atas pertimbangan Mahkamah Agung (MA). Syaratnya, jika terpidana berbuat baik selama menjalani masa percobaan 10 tahun.
Hal ini tertera dalam Pasal 100 ayat (4) KUHP yang menyebutkan, “Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung”
Hukuman mati dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan berlaku tiga tahun setelah disahkan ini, secara keseluruhan terdapat dalam Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, dan Pasal 102.
Pidana yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif (Pasal 67). Pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya Tindak Pidana dan mengayomi masyarakat (Pasal 98).
Teknis pelaksanaan hukuman mati daitur dalam Pasal 99. Sedangkan Pasal 101 menjelaskan “Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden”
Sebelumnya, sejumah lembaga non pemerintah dan para aktivis yang tergabung dalam Koalisi untuk Hapus Hukuman Mati (Koalisi HATI) mendorong pemerintah menghapus pidana mati. Semangatnya adalah untuk melindungi hak hidup bagi warga negara.
Tercatat di seluruh dunia, sudah 144 negara yang melakukan moratorium dan menghapus hukuman mati. Koalisi HATI memandang pemerintah bersikap canggung dengan menjadikan hukuman mati sebagai hukuman alternatif. Pemerintah Indonesia juga belum mendukung rekomendasi moratorium atau abolisi dalam Universal Periodic Review (UPR) oleh Dewan HAM PBB.
Seperti diketahui Koalisi HATI tediri dari Imparsial, PBHI, Elsam, KontraS, ICJR, YLBHI, HRWG, SETARA Institute, FIHRRST, LBH Masyarakat, LBH Jakarta, LBH Pers, PKNI, Yayasan Satu Keadilan, Migrant Care, IKOHI, PILNET, dan INFID.
Historis dan Reformasi
Pengesahan RUU KUHP, menurut Menkumham Yasonna H Laoly menjadi momen historis karena Indonesia memiliki KUHP sendiri. Hal ini juga menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.
Terdapat tiga pidana yang diatur, yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus. Dalam pidana pokok, RUU KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda saja, tetapi menambahkan pidana penutupan, pidana pengawasan, serta pidana kerja sosial.
Selain pidana mati, terdapat reformasi dalam hal pidana penjara yang memberikan pedoman agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana dalam keadaan tertentu. Keadaan-keadaan itu misalnya, jika terdakwa adalah anak, berusia di atas 75 tahun, baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan beberapa keadaan lainnya.
“Meskipun demikian, diatur pula ketentuan mengenai pengecualian keadaan-keadaan tertentu itu. Yaitu terhadap pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, tindak pidana yang diancam dengan pidana minimum khusus, atau tindak pidana yang merugikan masyarakat, serta merugikan perekonomian negara,” kata Yasonna.
Pelaku tindak pidana juga dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, perampasan barang, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin, dan pemenuhan kewajiban adat setempat.
Pelaku tindak pidana dapat pula dijatuhi Tindakan, yaitu perwujudan nyata dari diterapkannya double track system dalam pemidanan Indonesia. Contohnya, mengatur Tindakan yang dapat dijatuhkan bersama pidana pokok dan Tindakan yang dapat dikenakan kepada orang dengan disabilitas mental atau intelektual.
Dalam KUHP baru juga mengatur badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggung jawab dan dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan Tindakan dikenakan kepada korporasi dan orang-orang yang terlibat dalam korporasi, termasuk pengurus fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, hingga pemilik manfaat.(rdo)