Pontianak. Perjalanan sejarah kepolisian memasuki masa huru-hara dengan masuknya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI). Polri saat itu masih menjadi bagian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara (KKN).
Berdasarkan Keppres Nomor 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang. Ketika itu pada tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar dan kuat karena politik Nasionalis, Agama, Komunis (NASAKOM) yang dilancarkan Presiden Soekarno.
PKI mulai menyusup dan memengaruhi sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan. Karena pengalaman yang pahit peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka pada 1967 keluar SK Presiden Nomor 132/1967 tanggal 24 Agustus 1967.
SK itu menetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI bagian dari organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan Angkatan Kepolisian.
Masing-masing dipimpin Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab Jenderal Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto menjadi presiden pada 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M Panggabean. Integrasi tercipta dengan ketat yang berdampak pada semakin sulitnya perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang.
Pada tahun 1969 dengan Keppres Nomor 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU Nomor 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara (KKN) RI. Namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969 yang sekarang diperingati sebagai HUT Polri atau Bhayangkara.(dwi/polri.go.id)